Selasa, 13 Juni 2017
Jean Paul Sartre
Jean Paul Sartre lahir di Paris pada tanggal 21 Juni 1905. Ayahnya perwira angkatan laut Prancis dan ibunya, Anne Marie Schweitzer,
anak bungsu dan satu-satunya anak perempuan dari Charles Schweitzer,seorang guru bahasa dan sastra Jerman di daerah Alasace.
Diusianya yang ke tujuh belas Sartre lulus dari sekolah diploma elit dengan mendapat gelar baccalaureate. Pada tahun 1924 ia melanjutkan studinya
di Ecole Normale Superieure dan menjadi profesor filsafat di Le Havre (1931-1933) kemudian selama setahun ia belajar di Berlin.
Sekembalinya dari Berlin ia mengajar di Laon dan Paris. Di saat menempuh studi tersebut ia bertemu seorang mahasiswi yang kemudian menjadi
teman hidupnya yaitu Simone de Beauvoir. Simone sendiri di kemudian hari menjadi penulis dan filsuf feminis yang terkenal.Perdebatan tentang
manusia menjadi tema yang tidak akan pernah habis untuk diperbincangkan.
Manusia kerap dihadapkan pada pertanyaan mendasar tentang siapakah sejatinya dirinya? Apa sekiranya tujuan keberadaan mereka di dunia? Bagaimana
seharusnya ia hidup sebagai manusia? Pertanyaan-pertanyaan eksistensial seperti ini telah banyak dikupas oleh para filsuf dari berbagai era dan
aliran pemikiran filsafat. Jean-Paul Sartre (1905-1980) merupakan salah satu filsuf yang akrab menggelutinya, terutama dalam kerangka pemikiran
eksistensialismenya.
Jean Paul Sartre dalam pemikirannya banyak dipengaruhi oleh fenomenologi Husserl dan Heidegger. Dari fenomenologi Husserl,
Sartre melihat dua hal penting. Pertama, perlunya menempatkan kesadaran sebagai titik tolak untuk kegiatan-kegiatan atau penyelidikan-penyelidikan filsafat.
Kedua, pentingnya filsafat untuk “kembali kepada realitasnya sendiri” (Zu den sachen selbst). Pemikiran Sartre lebih dekat dengan fenomenologi Heidegger
di mana beberapa konsepsi Heidegger coba diambil alih dan dimodifikasi oleh Sartre.
Dalam Saint Genet, Sartre merumuskan seluruh usaha filsafatnya dalam satu kalimat pendek yaitu “merekonsiliasikan (mendamaikan) subjek dan objek.”
Usaha ini barangkali didorong oleh pengalaman fundamental Sartre tentang kebebasan (diri sebagai subjek) dan tentang benda (objek).
Kedua pengalaman ini, menurut pandangan Sartre, merupakan simbol kondisi manusia yang (di satu pihak) menganggap dirinya sebagai makhluk bebas,
tetapi (di lain pihak) selalu dihadapkan pada kuasa atau daya tarik benda. Dalam pandangan Sartre, pengalaman tentang kebebasan dan tentang kesadaran diri,
bukanlah pengalaman yang mudah dan mengenakkan.
Kebebasan dibebankan kepada kita oleh situasi yang tidak kita pilih, dan tanpa alternatif lain kita harus menerimanya begitu saja.
Selain itu, kebebasan sangat rapuh dan selamanya berada dalam posisi yang rentan dan terancam sehingga tidak dapat diandalkan
sebagai sandaran yang kokoh untuk hidup kita.
Sartre juga menggagas kebebasan untuk menegaskan idealismenya. Menurutnya manusia adalah makhluk di mana eksistensi mendahului esensi, artinya manusia
itu harus ‘berada’ terlebih dahulu baru kemudian menjadi ‘ada’. Konsep ini mengandaikan bahwa manusia itu pada awalnya adalah kosong dan tidak memiliki apa-apa.
Tetapi, kekosongan itu kemudian diisi oleh kebebasannya untuk memilih. Untuk lebih jelas dalam menggambarkan hal tersebut dalam buku Filsafat Barat
Kontemporer, K. Bertens menggambarkannya dengan sebuah gelas. Gelas yang biasanya kita gunakan sebagai alat atau benda untuk minum mempunyai ciri-ciri tertentu.
Si tukang yang membikin gelas itu sebelumnya sudah tahu apa yang akan ia buat. Gambaran itu mau menunjukkan tentang esensi dari benda itu. Secara gamblang Sartre,
dalam karyanya yang berjudul Existensialism and Humanism, membuat suatu konsep pandanganya tentang manusia.
Konsep Manusia menurut Sartre
Manusia adalah kebebasan yang mencipta secara total, maka ia menyempurnakan dirinya sendiri, ia adalah suatu rancangan untuk masa mendatang.
Jadi, kodrat (esensi) manusia tidak mungkin ditentukan, tetapi adalah terbuka sama sekali. Jadi, eksistensi mendahului esensi manusia. Seandainya Tuhan ada,
Ia akan merupakan identitas penuh dari Ada dan kesadaran, dari en-soi dan pour-soi.
Manusia adalah kebebasan, kata Sartre. Dengan mengatakan ini Sartre mau memberikan sebuah penjelasan kepada manusia bahwa dirinya adalah kebebasan itu sendiri.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa manusia dapat didefinisikan sebagai kebebasan. Dengan mengatakan itu semua Sartre memberikan corak humanisme dalam pemikirannnya.
Kebebasan bagi Sartre berarti menentukan sebuah pilihan dari sekian banyak pilihan yang lain. Manusia pada dasarnya bebas untuk mengadakan suatu pilihan atas
jalan hidupnya sendiri tanpa harus didekte oleh orang lain.
Kebebasan bukan berarti “lepas sama sekali” dari kewajiban dan beban. Menurut Sartre, kebebasan adalah sesuatu yang erat kaitannya dengan tanggung jawab,
dan tidak bisa dipisahkan.Kita bertanggungjawab atas keseluruhan eksitensi kita dan bahkan kita bertanggung jawab atas semua manusia, karena
terus menerus kita adalah manusia yang memilih dan dengan memilih diri kita sendiri sekaligus kita juga memilih juga untuk semua orang.
Eksistensi Mendahulaui Esensi
Eksistensi mendahului esensi (Existence comes before Essence) merupakan salah satu konsep penting dalam bangunan eksistensialime Sartre. Apa yang dimaksud
oleh Sartre dengan konsep ini? Sartre berupaya mengukuhkan subjektivitas manusia, dan di sisi lain menendang jauh-jauh keberadaan Tuhan dengan segala
argumentasi prndukungnya. Subjektivitas manusia dan keberadaan Tuhan, menurutnya seperti berada pada polaritas yang berbeda dan saling meniadakan.
Untuk mengukuhkan subjektivitasnya, manusia harus menyingkirkan Tuhan, karena subjektivitas tak pernah bertoleransi dengan segala bentuk determinisme.
Untuk menjelaskan konsep eksistensi mendahului esensi, Sartre memulainya dengan memakai contoh pembuatan pisau kertas (paper-knife) oleh seorang artisan.
Apa yang terlebih dahulu exist tentu bukan produk material pisau, tetapi segala konsep tentang pisau baik itu bentuk, cara pembuatan, maksud dan cara
penggunannya. Konsep ini ada di dalam benak artisan sebagai pre-existent technique. Logika ini adalah logika esensi mendahului eksistensi, jalan berpikir
yang tidak bisa dikenakan pada Tuhan yang secara de facto tidak bereksistensi.
Ketika menyebut Tuhan sebagai Pencipta, sebetulnya kita sedang mengenakan pada Tuhan model kerja seorang artisan. Ketika menciptakan manusia, kita menganggap
bahwa dalam benak Tuhan telah hinggap berbagai konsep tentang esensi manusia, entah kodrat manusia sebagai makhluk rasional, citra Tuhan, ens sociale, dan
sebagainya.
Konsep seperti inilah yang ditentang Sartre melalui eksistensialisme ateistiknya: “Oleh karena Tuhan tidak exist maka setidaknya ada satu makhluk yang
eksistensinya mendahului esensinya, makhluk yang ada sebelumnya dapat dibatasi oleh konsep-konsep tentang eksistensinya. Makhluk itu adalah manusia.”
Dengan tesis inilah Sartre menegaskan hakikat manusia sebagai being yang eksistensinya ada sebelum esensinya.
Di sisi lain, keberadaan Tuhan dibatasi oleh berbagai definisi manusia tentang eksistensinya sendiri. Artinya, Tuhan ada sejauh manusia
mendefinisikannya atau tegasnya, Tuhan hanya merupakan ciptaan atau buah ‘peng-atribut-an’ oleh manusia saja.
Sampai di sini, pertanyaan pokok yang diajukan adalah profil manusia macam manakah yang dimaksudkan Sartre dengan ‘manusia yang bereksistensi sebelum esensi?’
Pertama, Manusia sebagai ‘Adalah’. Eksistensi mendahului esensi berarti bahwa “manusia pertama-tama itu ada, menjumpai dirinya, mentas ke dalam dunia dan
kemudian mendefinisikan siapa dirinya.” Manusia tidaklah menjadi apa-apa sebelum ia menjadi apa yang dikehendakinya sendiri untuk menjadi. Maksudnya adalah pada
awal keberadaannya, manusia tidak mengenakan definisi apapun tentang dirinya.
Sebagai makhluk yang bereksistensi sebelum esensi, manusia tidak terikat atau terbelenggu pada berbagai patokan definisi tentang dirinya.
Humanisme Radikal
Sartre juga mengemukakan konsepnya tentang humanisme. Humanisme dalam pandangan Sartre mempunyai karakter yang radikal. Sartre berusaha menyingkirkan
sama sekali nilai-nilai yang sudah dibangun oleh kepercayaannya terhadap Tuhan, dan segala norma yang terkait dengannya. Hanya dengan begitu, setiap
manusia dapat menemukan ruang untuk berkreasi menghasilkan nilai-nilai yang dialaminya dalam hidup.
Dengan kata lain, penyingkiran Tuhan adalah satu-satunya cara tepat untuk memungkinkan manusia menghidupi individualitasnya. Itulah sebabnya dengan
mengutip perkataan Dostoyevsky, Sartre berkata, “Jika Tuhan tidak ada, segala sesuatu akan menjadi mungkin.” Manusia akan lepas dari belenggu
kebenaran-kebenaran yang dicerap dari luar, bebas dari beragam determinasi religius-etis dan menjadi tuan atas dirinya sendiri.
Dengan konsep ini, humanisme Sartre sebetulnya berusaha menciptakan hakikat manusia sebagai makhluk yang bebas. Manusia menggenggam dalam tangannya sendiri
kebebasan untuk menentukan hidupnya.
Manusia selalu berupa aksi dan kreasi untuk merealisasikan diri. “Ia tidak dapat lain selain serangkaian tindakan dengan dirinya sebagai
rangkaian, organisasi, sekumpulan relasi yang menetapkan tindakan-tindakan ini”, begitu kata Sartre. Menentang tuduhan para komunis, Sartre
menampilkan model manusia eksistensialnya sebagai manusia yang tidak berkubang dalam ke-pasif-an, tetapi bergerak maju merealisasikan diri. Manusia seperti ini
memiliki komitmen-diri (self-commitment) atas kehidupannya dan karena itu selalu melibatkan dirinya melalui pilihan tindakan-tindakan subyektifnya.
Manusia dalam kosep pandangan Sartre memang bukan manusia yang sempurna. Kehadirannya selalu merupakan suatu proyek yang belum tuntas terselesaikan.
Nilai dan makna dari kemanusiaan manusia senantiasa ditentukan oleh setiap pilihan yang dibuat dan komitmen yang dijalani. Sehingga berusaha semaksimal
mungkin untuk menjadi manusia yang sempurna. Namun sebenarnya, kesempurnaan terletak sepenuhnya pada kemauan manusia itu sendiri untuk menjadi sempurna.
Tetapi dengan ini Sartre tidak memaksudkan pandangan humanisme tradisional yang menempatkan manusia sebagai tujuan dari dirinya sendiri
atau manusia sebagai nilai tertinggi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar